Blogger Template by Blogcrowds

cinta itu adalah sebuah perjuangan, ia tidak datang murah dari langit, maka ia harus diperjuangkan, terkadang cinta baru akan mekar setelah melewati berbagai derita, derita bukan musuh cinta, derita itu membuat cinta menjadi dewasa

MAAF DI STASIUN KERTAPATI

Cerita ini sisi buat waktu masih semester 3 IIQ, inspired by true story hehe..

Suasana kelas sibuk seperti biasa, semuanya larut dalam pekerjaannya masing-masing. Ada yang berhias, make-up kilat menghilangkan kerut ngantuk wajahnya. Ada pula yang membongkar-bongkar tas, mencari fotokopian makalah presentasi hari ini. Lain lagi dengan Eda, yang dengan setia senantiasa mengajak teman-temannya untuk mengisi perut-yang mulai melantunkan irama lapar-di kafe samping masjid.

“Sekarang udah tanggal 7 nih!”, tukas Imut.

“Emangnya..emangnya..emangnya kenapa?” timpal Asri kembali melontarkan kata-kata yang bikin teman-temannya keki.

“Iiiiiih Asri, bisa nggak sih kalo nggak ngomong gitu, bikin kesel aja nih!”, tak urung Rani bicara.

“Emangnya..emm”belum selesai Asri menyelesaikan paragraf kalimatnya, tangan Imut menutup rapat mulutnya, pertanda Asri harus mengunci kedua bibirnya. KLEK.

“Nggak, kayaknya hari ini Al-Qishthi udah keluar deh!”, sambung Dewi menyebutkan majalah yang digemari kalangan IIQ-ian.

“O iya, beli yuuuuuuk!”

“Ayuuuuuk, tapi aku lagi nggak punya uang” kata Imut.

“Cik, makcik kan baru gajian, beliin dong kali-kali, kasihanilah nasib jomblo-jomblo yang lagi kanker ini....hiks”, Asri memelas penuh harap.

“Yee, siapa bilang baru gajian, Ida baru habis di-PHK, jadi nggak gajian bulan ini.”

“Bisa aja ni makcik, kerja aja belum, gimana bisa di-PHK??” kata Dewi sembari geleng-geleng kepala.

Sesaat suasana hening, masing-masing larut dalam lamunannya.

“O IYAA” sontak Dewi berteriak mengagetkan yang lain.

“Iiih Dewi, ngagetin aja nih,” sahut Imut diamini ning Mamnu’.

“Sori-sori, baru inget kalo hari ini aku kebagian tugas masak, aku belum belanja”

“Yee, kirain apaan. Eh ngomong-ngomong. Gimana kalo kita patungan aja belinya, masing-masing nyumbang seribu, kalo ada yang mau lebih sih nggak apa-apa.” Usul ning Mamnu’.

“Bole juge tuh usulnye, kite kan betujuh ni, harge al-Qisthi tuju rebu, ya paslah, nanti bacenye ganti-gantian, gua terakhir nggak papa deh, asal bisa bace tu majalah,” kata Tutut.

“Ya udah, kalo gitu, sini kumpulin uangnya, ntar biar aku yang beli sama t’Imut.” sahut Asri.

Akhirnya, ketujuh anak itu merogoh dompetnya masing-masing demi mendapatkan majalah kesayangannya. Maklum, karena kiriman belum datang, uang yang terkumpul pun berupa koin-koin cepekan dan gopekan. “Yap, pas tujuh ribu, alhamdulillah” sambung Ida dengan napas penuh kelegaan.

J

alanan depan kampus mulai memadat. Seperti biasa, setiap pagi bus-bus dijejali mahasiswa. Para pelajar pun ikut meramaikan suasana. Mungkin suatu saat Ciputat akan menggantikan posisi Yogya sebagai kota Pelajar. Kali aja ya?!

Karena abang yang menjual koran masih ngerapiin koran dan majalah-majalah, Asri dan Imut membeli Aqua dua gelas dan roti dua bungkus. Keduanya pun yang memang belum makan dari pagi langsung melahap roti itu. Berselang 3 menit, abang koran pun nampaknya selesai menata korannya.

Asri dan Imut perlahan mendekat, mencari-cari majalah kesayangan mereka, “Naah, tu dia teh!” seru Asri dengan mulut penuh roti, seraya menunjuk tumpukan majalah yang dibungkus plastik sama abangnya. “Jangan ambil yang atas, biasanya yang paling atas sering dilihat-lihat orang, jadi agak lecek” sambung Asri sambil berbisik.

Imut pun mengambil majalah tersebut, memilih-milih. Demikian pula Asri, ikut membolak-balik halaman majalah, melihat isi majalah tersebut. “Waaaah, ada bonus kalendernya” gumam Asri.

“Eh neng, kalo nggak mau beli, mendingan jangan pegang-pegang deh! Kan majalah saya jadi kotor”. Tiba-tiba abang koran berkata dengan raut muka tak menyenangkan kepada Asri.

“Abang kok ngomong gitu sih, saya kan nggak ngotorin majalah abang, kok abang jadi marah-marah sama saya sih?” timpal Asri.

“Saya nggak marah kok, saya cuma ngasih tau. Kamu ini... dikasih tau sama orang tua kok malah ngelawan! Saya lihat kamu makan roti, trus kamu pegang-pegang majalah saya.” suara abang koran makin meninggi.

Asri yang tidak terima diomelin seperti itu tak mau kalah suara ”Abang lihat dong, emang korannya kotor? Saya nggak terima abang ngomong gitu sama saya!”

Suasana semakin memanas, Imut yang berusaha meredam amarah Asri tampaknya sia-sia. Bukan malah redam, amarah Asri semakin menjadi-jadi yang mungkin tidak pantas untuk diungkapkan di sini.

“Kamu ini, anak baru kemarin sore berani-beraninya ngelawan orang tua, Nggak sopan. Percuma aja kamu pakai jilbab, tapi hati kamu nggak berjilbab!”

“Abang,..”

“Udah Ri, ayo pergi, udah-udah, jangan bicara lagi.” Tukas Imut sambil mengajak Asri yang masih dirundung kekesalan meninggalkan medan pertengkaran yang kemungkinan akan berlangsung hebat jika tidak ada yang melerai.

“IIIIIIIIIIH, ASRI SEBEEEEEEL!!!!!”

“Udah Ri, tenang, jangan terbawa emosi. Sabar.. mungkin abangnya lagi kesel, jadi ngomongnya kayak gitu” kata Imut menenangkan.

“Asri kan nggak ada maksud ngotorin majalahnya, abangnya aja yang salah paham. Lagian ngapain juga nyangkut-nyangkutin masalah jilbab, kan nggak ada hubungannya. Pokoknya Asri nggak terima”, kata Asri sambil berlari meninggalkan Imut yang terdiam, tak tau harus berbuat apa.

B

ulan Syawal sebentar lagi tiba, para mahasiswa pun yang merantau ke Jakarta pun pulang ke kampungnya masing-masing. Untuk beberapa saat, Jakarta akan tampak lengang, karena penduduknya mudik, melepaskan kerinduan di kampung halaman dengan keluarga, kerabat dan handai taulan.

Seperti mudik sebelumnya, Asri pun terpaksa harus kembali berdesak-desakan dengan para pemudik lainnya. Setelah menyeberang dari Merak ke Bakauheni, ia pun pergi membawa barang-barangnya menuju stasiun Tanjung Karang, untuk meneruskan perjalanannya menuju stasiun Kertapati, Palembang. Karena ia berangkat pada H-3, Asri harus puas naik kereta ekonomi, non-seat pula.

Asap rokok menyeruak kemana-mana. Asri bersungut-sungut di dalam hati, “Orang nggak berperasaan!! Suasana sumpek seperti ini, bukannya toleran, malah nambah bikin mumet aja.”

Pandangan Asri menyapu sekelilingnya, mencoba mencari-cari tempat, mungkin ada tempat yang masih kosong, sehingga ia tak perlu bersusah-susah menggelar koran di bawah, duduk bersila ataupun sejenisnya.

Ketika Asri sampai di gerbong ekonomi ke dua, ia melihat ada sebuah bangku kosong di dekat jendela. “Waaah, lumayan nih”. Asri pun cepat-cepat mengambil posisi duduk di bangku tersebut, lalu melonjorkan kakinya dan membayangkan keluarga yang menantinya di rumah.

Tak berapa lama kemudian, seorang bapak datang menghampiri bangkunya, Asri yang masih asyik dengan lamunannya tak mengindahkan keadaan sekelilingnya. Cukup lama bapak itu memperhatikannya, menyamakan nomor karcis pada tiket dan tempat duduk yang diduduki oleh Asri.

Setelah beberapa lama, karena merasa diperhatikan, Asri kemudian memalingkan pandangannya kepada orang yang berdiri di dekat bangkunya tersebut. Betapa terkejutnya Asri, menyadari bahwa orang yang ada di depannya adalah abang koran yang biasa berjualan di depan kampus.

“em..in..ini. tempat d..duduuk ab eh bapak ya ?” Asri tergagap, lidahnya kelu.

“Oh, nggak apa-apa, saya terbiasa berdiri kok. Udah adek duduk aja. Biarin saya duduk di sebelah sana..” jawab bapak tersebut seraya menunjuk suatu tempat di bawah yang kembali membuat Asri tak enak setengah mati.

“Bapak aja deh yang di sini, kan ini tempat duduk bapak, biar saya aja yang di situ.”

“Udah, nggak usah neng”. Sambung bapak itu sambil mengelar koran di bawah lalu mengambil posisi duduk yang nyaman baginya. “Aduuuuuh, jadi nggak enak, bapak itu masih ingat nggak ya sama aku...” keluh Asri dalam hatinya.

Sepanjang perjalanan, Asri gundah dalam lamunannya, teringat kejadian beberapa bulan silam, ketika ia bertengkar dengan bapak yang kini memberikan tempat duduknya dengan sukarela, seakan tak pernah merasa bahwa Asri pernah menoreh luka hatinya. Asri merasa sangat menyesal dan berdosa, ia pun bertekad sesampainya ia di stasiun Kertapati, ia akan meminta maaf atas kekhilafan yang telah ia lakukan.

“Pak, majalah Al-Qisthinya ada?”

“O ada, nih dia”

“Makasih ya pak, ini uangnya..” kata Asri sambil mengambil uang yang berupa koin-koin cepekan dan gopekan itu dari t’Imut dan memindahkannya ke tangan orang yang pernah dilukai hatinya.

“Makasih juga neng, ntar kalo mudik, bareng lagi ya neng..” jawab Bapak penjual koran sambil tersenyum manis, semanis senyum maaf yang ia berikan sewaktu Asri memohon maaf dengan tulus padanya di stasiun Kertapati.

Kepada orang-orang yang pernah Isi sakiti, bukakanlah pintu maafmu

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda